Lhokseumawe,Cakrawala–Meskipun jalurnya masih pendek, keberadaan Kereta Api (KA) Cut Meutia menjadi simbol harapan untuk mengembalikan kejayaan perkeretaapian di Tanah Rencong. Kereta perintis yang mulai beroperasi sejak 1 Desember 2013 ini menjadi moda transportasi terjangkau bagi masyarakat, sekaligus pengingat bahwa Aceh pernah memiliki jaringan rel sepanjang lebih dari 500 kilometer.
Saat ini, KA Cut Meutia melayani rute Krueng Geukueh – Kutablang sejauh 21,45 km, bagian dari proyek reaktivasi jalur Lhokseumawe – Bireuen sepanjang 46,35 km. Pengoperasian dilakukan oleh PT KAI Divre I Sumatera Utara atas penugasan Direktorat Jenderal Perkeretaapian Kementerian Perhubungan, dengan dukungan Balai Teknik Perkeretaapian (BTP) Kelas I Medan.
Tarifnya pun sangat terjangkau — hanya Rp2.000 per perjalanan, dengan delapan kali perjalanan pulang-pergi setiap hari. Waktu tempuhnya sekitar 64 menit sekali jalan, menjadikannya salah satu layanan transportasi publik termurah di Indonesia.
Sejarah perkeretaapian di Aceh bermula tahun 1876, ketika pemerintah kolonial Belanda membangun jalur pertama dari Pelabuhan Ulee Lheue ke Kutaraja (Banda Aceh) sepanjang 5 km. Awalnya, rel ini dibangun untuk kepentingan militer dalam Perang Aceh, guna memudahkan pergerakan pasukan dan logistik.
Jalur kemudian diperluas hingga menghubungkan Ulee Lheue – Banda Aceh – Sigli – Lhokseumawe – Langsa – Pangkalan Susu (Sumatera Utara), dan mencapai total panjang 502 km pada 1919. Namun, setelah masa kemerdekaan, kondisi ekonomi, bencana banjir tahun 1976, serta meningkatnya penggunaan kendaraan darat membuat operasional kereta api di Aceh terus merugi.
Tahun 1982, seluruh layanan kereta api di Aceh resmi dihentikan. Banyak jalur dan aset dibongkar, menandai berakhirnya era kejayaan rel di provinsi ini.
Reaktivasi perkeretaapian Aceh kembali dimulai lewat KA Cut Meutia yang beroperasi di jalur Krueng Geukueh – Kutablang. Jalur ini memiliki keunikan karena menggunakan lebar rel 1.435 mm (standard gauge) — satu-satunya di Indonesia pasca-kemerdekaan.
Sepanjang lintasan, terdapat enam stasiun yang sudah siap melayani, di antaranya Muara Satu, Krueng Geukueh, Bungkaih, Krueng Mane, Geurugok, dan Kutablang.
Selama Januari – Agustus 2025, KA Cut Meutia telah mengangkut 30.527 penumpang dari total kapasitas 270.240 kursi, dengan tingkat okupansi rata-rata 11 persen. Meski angka ini masih rendah, kehadiran kereta ini menjadi bukti bahwa transportasi berbasis rel mulai kembali hadir di Aceh.
Hingga kini, jalur sepanjang 8 km menuju Stasiun Muara Satu belum dioperasikan meskipun sosialisasi telah dilakukan sejak awal 2025. Padahal, stasiun ini sudah siap dengan fasilitas lengkap dan area parkir luas. Keterlambatan ini menimbulkan kekhawatiran akan turunnya kepercayaan publik terhadap proyek reaktivasi.
Selain itu, kasus hilangnya instalasi di Jalur Perlintasan Langsung (JPL) juga menjadi masalah serius di lapangan. Beberapa perangkat keamanan rel bahkan harus berkali-kali diganti oleh kontraktor akibat pencurian.
Secara operasional, KA Cut Meutia hanya memiliki satu rangkaian berisi dua kereta penumpang yang masih menggunakan kipas angin. Ketiadaan cadangan rangkaian dan belum tersedianya pendingin ruangan membuat layanan ini rawan terhenti jika kereta mengalami gangguan teknis.
Masyarakat Aceh belum sepenuhnya melihat KA Cut Meutia sebagai moda transportasi utama karena jarak tempuh yang pendek. Banyak yang memanfaatkan kereta ini untuk rekreasi, bukan kebutuhan mobilitas antarkota. Padahal, menurut Djoko Setijowarno, akademisi Prodi Teknik Sipil Unika Soegijapranata sekaligus Wakil Ketua Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) Pusat, keberadaan KA Cut Meutia sangat strategis dalam membangun kembali budaya transportasi berbasis rel di Aceh.
“Penyelesaian proyek reaktivasi jalur Trans-Sumatera dan penuntasan konektivitas Lhokseumawe–Bireuen sangat mendesak. Diperlukan alokasi dana khusus agar jaringan kereta api di Aceh bisa berfungsi penuh,” ujar Djoko.
Jika seluruh jalur tersambung, KA Cut Meutia bukan sekadar transportasi murah, tapi juga simbol kebangkitan sistem transportasi modern Aceh — sebuah langkah nyata menuju konektivitas berkelanjutan di ujung barat Indonesia.(ef)