Pekanbaru, MN Cakrawala — Penetapan Ketua Umum Ormas Pemuda Tri Karya (PETIR), Jekson Jumari Pandapotan Sihombing, sebagai tersangka kasus dugaan pemerasan, kini mulai menimbulkan tanda tanya besar. Publik mempertanyakan, sebenarnya siapa yang memeras siapa?
Kepolisian Daerah Riau melalui Wadireskrimum AKBP Sunhot Silalahi menegaskan, pihak yang menyerahkan uang dalam kasus pemerasan tidak dapat dijerat pidana, sebab pemberian itu terjadi di bawah tekanan atau ancaman, bukan tindakan sukarela.
“Pemberian uang dalam konteks pemerasan tidak bisa dipandang sebagai tindakan sukarela. Itu justru bukti adanya ancaman,” ujar Sunhot di Mapolda Riau, Jumat (17/10/2025).
Namun, di balik penegasan hukum tersebut, muncul berbagai spekulasi di kalangan publik. Banyak pihak mulai mempertanyakan kronologi awal terjadinya pertemuan antara Jekson dan pihak pelapor.
Apakah Jekson benar melakukan pemerasan, atau justru ia dijebak dalam skenario yang sudah disusun rapi sebelumnya?
Sumber internal menyebut, pertemuan antara Jekson dan pihak perusahaan terjadi di Hotel Furaya Pekanbaru. Di titik ini, muncul dua versi.
Jika Jekson yang mengundang pelapor dan kemudian terjadi transaksi uang, maka arah kasus jelas menguat ke dugaan pemerasan.
Namun, bila justru pihak pelapor yang lebih dulu menginisiasi pertemuan, situasinya menjadi terbalik—karena skenario jebakan bukan tidak mungkin telah disiapkan sejak awal.
Lebih menggelitik lagi, pihak yang disebut “R” dari perusahaan yang berkantor di Jakarta, dikabarkan langsung menghubungi aparat Polda Riau untuk melakukan penangkapan setelah pertemuan itu.
Padahal, jika pertemuan berlangsung di Pekanbaru, mengapa koordinasi begitu cepat dilakukan oleh pihak dari luar daerah?
Langkah itu memunculkan kecurigaan adanya intervensi atau rencana sistematis yang bisa mengaburkan konteks sebenarnya dari pertemuan tersebut. Apalagi, ormas PETIR dikenal kerap melontarkan kritik keras terhadap sejumlah konglomerasi besar yang beroperasi di Riau.
Pertanyaan publik kini semakin mengerucut:
Apakah ini murni kasus pemerasan, atau pembungkaman terhadap suara keras yang selama ini mengganggu kepentingan korporasi tertentu?
Polda Riau memastikan penyidikan dilakukan secara profesional dan transparan. Akan tetapi, publik menanti gelar perkara terbuka untuk menjawab dugaan-dugaan yang kini mulai liar di masyarakat.
Kasus Jekson Sihombing ini tampaknya bukan sekadar persoalan hukum biasa, melainkan pertarungan narasi antara kekuasaan dan keberanian bersuara. (Efialdi / Red.)













