Pekanbaru,Cakrawala-Meski aparat mengklaim terus melakukan penertiban, faktanya truk Over Dimension Over Loading (ODOL) masih bebas melintas di jalan-jalan umum Kota Pekanbaru.
Ironinya, pelanggaran terang-terangan terhadap Pasal 277 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (LLAJ) seolah tak berujung pada tindakan hukum yang nyata.
*BPTD Klaim “Penertiban Jalan Terus”, Tapi Fakta di Lapangan Bicara Lain*
Kepala BPTD Kelas II Riau, Muttaqin, melalui Humas Ario Wibowo, mengatakan pihaknya tetap melaksanakan giat penertiban sesuai kewenangan.
Tim gabungan dari BPTD Riau, Ditlantas Polda Riau, Dishub Kampar, dan PT Hutama Karya disebut telah menggelar Operasi ODOL di ruas Tol Pekanbaru – XIII Koto Kampar.
“Tujuannya menertibkan kendaraan angkutan barang yang melebihi dimensi dan muatan demi keselamatan pengguna jalan,” ujar Ario.
Ia mengakui bahwa masih ditemukan banyak kendaraan yang tidak sesuai dimensi dan melanggar tata cara muat.
Penindakan, katanya, tetap dilakukan secara tegas namun dengan pendekatan persuasif dan mengutamakan keselamatan personel.
Namun, fakta lapangan justru menampar logika publik.
Dump truck dengan bak modifikasi dan muatan berlebih masih lalu-lalang di jalan umum Pekanbaru, bukan di jalur tol tempat operasi berlangsung.
Publik pun bertanya: apakah operasi ODOL hanya berlaku di jalan tol, sementara pelanggaran di jalan umum dibiarkan begitu saja?
*Polisi Akui Masih Sebatas Himbauan*
Kasubdit Gakkum Ditlantas Polda Riau AKP Galih Apria ketika dikonfirmasi menyebut bahwa pihaknya masih mengedepankan langkah preventif.
“Kita sampaikan kendaraan yang tidak menggunakan terpal agar dipasang sesuai ketentuan, supaya muatan lebih aman dan tidak mengganggu pengendara lain. Yang over dimensi dan loading juga demikian, kita datang ke PO-PO untuk menghimbau agar sesuai ketentuan,” ujar Galih.
Ia menambahkan, untuk penindakan tilang tetap dilakukan melalui ETLE dan WIM ETLE.
Namun saat dikonfirmasi soal berakhirnya tahap sosialisasi dan dimulainya tahap penindakan sejak Agustus 2025, Galih menjawab singkat:
“Kurang tahu, itu dari Dishub. Silahkan ke Dishub.”
Jawaban itu justru memperjelas minimnya koordinasi antarinstansi, padahal aksi penanganan ODOL seharusnya sudah berada di tahap sanksi dan penundaan operasional.
*Pelanggaran Pasal 277: Negara Diam, Jalan Rusak, Rakyat Jadi Korban*
Padahal Pasal 277 UU LLAJ sudah tegas menyatakan: Setiap orang yang membuat, merakit, atau memodifikasi kendaraan bermotor yang menyebabkan perubahan tipe tanpa uji tipe dipidana penjara paling lama 1 tahun atau denda paling banyak Rp24 juta.
Tapi sampai hari ini, tak ada satu pun pelaku ODOL yang diproses secara pidana.
Dump truck dengan bak tinggi, kelebihan muatan, bahkan tak berpelat jelas, masih menjadi pemandangan harian di Pekanbaru.
Operasi yang digembar-gemborkan sebagai bentuk ketegasan justru berubah menjadi simbol lemahnya penegakan hukum.
Aturan hanya tajam ke bawah — tapi tumpul, sangat tumpul, ketika menyentuh pelanggar besar di balik roda truk ODOL.
*Kebijakan Tanpa Nyali, Hukum Tanpa Gigi*
Jika aparat hanya berani menilang sopir kecil di jalan, sementara pemilik armada ODOL tetap bebas menjalankan bisnisnya, maka yang rusak bukan hanya aspal jalan, tapi juga wibawa hukum itu sendiri.
Di atas kertas, pemerintah berjanji menuntaskan ODOL pada 2025.
Tapi di lapangan, yang terlihat hanyalah pembiaran kolektif — antara instansi yang saling lempar tanggung jawab dan aparat yang kehilangan keberanian menegakkan Pasal 277.
“Tertib lalu lintas bukan sekadar aturan,” kata Humas BPTD tadi.
Tapi jika aturan hanya jadi slogan,
maka keselamatan rakyat pun akhirnya tinggal cerita.(Ef)













