Jakarta,Cakrawala-Operasi senyap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kembali mengguncang Riau.Gubernur Riau Abdul Wahid, sosok yang baru sembilan bulan lalu dilantik Presiden Prabowo Subianto, diamankan dari sebuah kafe dalam operasi tangkap tangan, Senin (3/11/2025). Ia bukan ditangkap di kantor, bukan pula di rumah dinas tapi di sebuah kafe, tempat di mana rakyat tak pernah membayangkan pemimpinnya dikejar aparat antirasuah.
Menurut KPK, Abdul Wahid diamankan setelah dilakukan pencarian dan pengejaran. Bukan panggilan resmi, bukan klarifikasi — tapi pengejaran.
“Tim sempat melakukan pencarian dan pengejaran yang kemudian berhasil mengamankan AW di salah satu kafe di wilayah Riau,” ungkap Juru Bicara KPK, Budi Prasetyo, di gedung Merah Putih, Jakarta, Selasa malam (4/11/2025).
Kasus ini menjerat jantung pemerintahan daerah: Dinas PUPR Riau.
Sebuah dinas yang memegang kendali atas miliar demi miliar rupiah proyek pembangunan infrastruktur. Dari sana, penyidik KPK menemukan benang kusut penyalahgunaan anggaran dan mengamankan uang Rp 1,6 miliar — sebagian dalam dolar Amerika dan poundsterling dari rumah pribadi sang gubernur di Jakarta.
Apakah ini hasil dari satu transaksi?
KPK menduga sudah ada penyerahan-penyerahan sebelumnya. Artinya, praktik ini bukan kejutan, tapi pola.
Dari Partai Dakwah, Turun ke Jurang Korupsi
Lebih getir lagi, Abdul Wahid bukan sekadar pejabat biasa.Ia Ketua DPW PKB Riau, partai yang mengusung jargon moralitas dan keadilan umat. Dua kader partainya — Tata Maulana dan Dani M. Nursalam — juga ikut terseret. DN bahkan baru dilantik dua pekan lalu oleh Abdul Wahid sendiri.
Kini, dua nama itu justru disebut KPK sebagai pihak krusial dalam perkara korupsi. Ironi yang nyaris sempurna.
DPP PKB berkilah dengan bahasa diplomatik, “Kami menghormati proses hukum.”
Tapi publik bertanya: Di mana mekanisme pengawasan partai ketika kadernya bermain uang rakyat?
Mengapa partai yang lahir dari rahim moral justru diam saat integritasnya dipertaruhkan?
UAS Turun Gunung, Tapi Suara Publik Tak Bisa Dihalangi
Sementara, ustad kondang Abdul Somad (UAS) buru-buru membela, menyebut bahwa yang di-OTT bukan gubernur, hanya pejabat bawahannya.
Namun fakta KPK jelas: Abdul Wahid diamankan dan diperiksa langsung.
UAS memang punya sejarah kedekatan politik dengan Abdul Wahid. Ia tampil di panggung kampanye, menyerukan dukungan, bahkan menandatangani “kontrak politik keagamaan.” Tapi apakah dakwah bisa menutup bau busuk korupsi?
Rakyat kini menatap dengan getir:
Ulama mendukung, partai berkuasa, rakyat percaya — lalu amanah dijual dengan dolar dan poundsterling.
Riau, Negeri yang Tak Pernah Selesai dengan Luka Korupsi
OTT ini bukan yang pertama di bumi Lancang Kuning,Seolah sudah jadi kutukan: satu demi satu kepala daerah di Riau jatuh karena korupsi.
Kini, sejarah itu berulang — hanya nama yang berganti.
Malam ini, di balik pintu tertutup gedung KPK, nasib Abdul Wahid dan kroninya ditentukan.
Tapi bagi rakyat Riau, luka kepercayaannya sudah terlalu dalam.
Pembangunan yang dijanjikan, jalan yang mestinya dibangun, sekolah yang harusnya diperbaiki — semuanya lenyap di balik transaksi gelap.
Kata Akhir: Rakyat Tak Butuh Drama, Tapi Keteladanan
Korupsi bukan hanya soal uang yang dicuri,Ia adalah pengkhianatan terhadap kepercayaan rakyat.
Ketika seorang gubernur harus dikejar ke kafe, itu bukan sekadar aib pribadi,itu aib bagi seluruh sistem yang melahirkannya.
Rakyat Riau muak.
Mereka tak butuh klarifikasi basa-basi. Mereka ingin pemimpinnya bersih, bukan pintar berkelit.(Ef)













