Kereta Cepat ke Surabaya: Nafsu Infrastruktur yang Tak Punya Empati

Jakarta,Cakrawala-Wacana pembangunan Kereta Cepat Jakarta–Surabaya kembali mencuat. Pemerintah menyebut proyek ini strategis, mampu mempercepat konektivitas dan mendorong ekonomi.

Tapi mari jujur — ini bukan kebutuhan rakyat, melainkan nafsu infrastruktur yang berbalut ambisi politik.

 

Biaya pembangunan Kereta Cepat Jakarta–Bandung (KCJB) sudah menembus USD 51 juta per km (sekitar Rp 780 miliar), jauh di atas standar dunia.

Bandingkan dengan Tiongkok, yang hanya menghabiskan USD 21 juta per km untuk proyek sejenis.

Padahal China memiliki ekosistem HSR terbesar di dunia — 48 ribu km jaringan aktif.

Sementara Indonesia, baru satu lintasan pendek, sudah megap-megap menanggung utang hingga Rp 2,2 triliun yang harus dicicil PT KAI tahun depan.

 

Jika proyek baru menuju Surabaya dijalankan dengan pola yang sama, maka rakyat hanya akan kembali menjadi penanggung akhir dari “utang gengsi” ini.

 

Pulau Jawa memang menjadi pusat pembangunan. Jalan tol Trans Jawa membentang 1.800 km, rel ganda aktif hampir 5.000 km. Tapi di balik kemewahan itu, lebih dari 24 ribu desa di Jawa nyaris tanpa angkutan umum yang layak.

 

Data menunjukkan, hanya 5 persen angkutan pedesaan yang masih beroperasi.

Mayoritas armadanya uzur, sopir menyerah karena sepi penumpang, dan izin tak diperpanjang pasca-pandemi.

Sementara di kota, hanya sembilan dari tiga puluh yang memiliki sistem transportasi publik modern.

 

Jadi, ketika pemerintah sibuk bicara kereta cepat, rakyat di desa masih berebut naik motor tua menuju pasar. Ironi paling telanjang dari arah pembangunan yang kehilangan empati.

 

Konektivitas Pulau Jawa sudah lebih dari cukup. Tapi pembangunan terus menumpuk di sini, sementara ribuan pulau lain masih menunggu jembatan, pelabuhan, dan kapal perintis.

Indonesia bukan Tiongkok — kita adalah negara kepulauan, bukan daratan tunggal.

Ketika kebijakan infrastruktur terus tersedot ke Jawa, maka yang dibangun bukanlah kemajuan, melainkan ketimpangan yang semakin parah.

 

Yang dibutuhkan rakyat bukan rel 350 km/jam, melainkan angkutan kota yang jalan, bus desa yang hidup, dan reaktivasi jalur rel mati.

Pemerintah seharusnya membangun pondasi transportasi yang merata, bukan monumen kecepatan yang mahal dan tak terjangkau.

 

Kereta cepat ke Surabaya mungkin membuat pejabat bangga, tapi rakyat justru makin jauh dari akses mobilitas yang adil.

Dalam konteks infrastruktur nasional, keadilan jauh lebih penting daripada kecepatan.

 

Djoko Setijowarno, Akademisi Teknik Sipil Unika Soegijapranata sekaligus Wakil Ketua MTI Pusat, menegaskan:

 

“Yang kita butuhkan bukan kereta cepat, tapi transportasi publik yang merata dan menyentuh seluruh pelosok negeri.(Efialdi)