Oleh: Dr. Harley A. B. Mangindaan, SE., MSM.
Manado,Cakrawala– Transportasi massal merupakan fondasi mobilitas dan pertumbuhan ekonomi kota modern. Namun di Indonesia—termasuk Manado—transportasi publik belum sepenuhnya mampu memberikan kenyamanan dan efisiensi bagi masyarakat. Ketergantungan pada kendaraan pribadi masih sangat tinggi karena layanan angkutan umum dianggap lambat, tidak nyaman, dan tidak terjangkau.
Salah satu masalah pokok adalah minimnya keterhubungan transportasi massal dengan kawasan perumahan. Pertumbuhan hunian baru di Mapanget, Paniki, Kombos, Ring Road, Winangun, hingga Malalayang tidak diikuti penyediaan angkutan umum, halte, jalur feeder, dan akses pejalan kaki. Akibatnya, penghuni terpaksa memakai motor atau mobil pribadi, meningkatkan beban ekonomi keluarga dan memicu kemacetan harian di pintu-pintu masuk kota.
Secara regulasi, payung hukumnya sudah kuat—UU LLAJ, UU Pemerintahan Daerah, hingga UU Perumahan dan Penataan Ruang—namun implementasinya masih lemah. Pengawasan tidak konsisten, integrasi antar lembaga kurang, dan rencana tata ruang sering tidak sinkron dengan rencana transportasi.
Di Manado sendiri, mikrolet masih menjadi moda utama, tetapi armada banyak yang tua, tidak memiliki jadwal pasti, bergantung pada sistem setoran, dan kenyamanannya rendah. Moda transportasi modern seperti BRT, LRT, atau kereta komuter belum hadir sebagai pilihan alternatif.
Sementara itu, fasilitas pendukung seperti halte modern, ruang berhenti angkot, dan terminal terpadu belum terbangun optimal. Padahal keberadaan fasilitas inilah yang menentukan apakah masyarakat merasa aman dan nyaman menggunakan transportasi publik.
Manado membutuhkan pendekatan pembangunan kota yang selalu terhubung dan berpikir jangka panjang: perumahan harus terkoneksi dengan transportasi, dan transportasi harus mendukung mobilitas ekonomi warga. Tanpa integrasi tersebut, kenyamanan ekonomi masyarakat sulit tercapai.(Ef)
Bersambung…













