Oleh : Jacob Ereste
Banten,Cakrawala– Masa pensiun sejatinya adalah fase terbaik dalam hidup, saat seseorang telah menuntaskan amanah sebagai abdi negara atau pelayan rakyat. Ia menjadi kesempatan untuk menikmati hidup dalam ketenangan, bercengkerama bersama cucu, menikmati kopi pagi di beranda rumah, atau sekadar membersihkan halaman sebagai bentuk rekreasi yang sehat dan damai.
Namun, sungguh ironis bila masa pensiun justru dipenuhi kegaduhan akibat ulah sendiri yang belum usai, baik dalam ranah politik maupun sosial. Apalagi jika itu terjadi karena keangkuhan yang masih melekat, seolah masa lalu yang kelam tak pernah cukup untuk menjadi cermin.
Lebih menyedihkan lagi ketika di usia senja seseorang masih menjadi sasaran olok-olok publik akibat perilaku masa silam yang tak kunjung ditebus. Padahal, masa pensiun idealnya menjadi masa menabung martabat, menyiapkan warisan intelektual dan moral bagi generasi penerus—bukan sekadar ijazah, tetapi keteladanan.
Sebagaimana pernah diungkapkan oleh Rocky Gerung, ijazah hanyalah tanda bahwa seseorang pernah belajar, bukan jaminan akan kualitas pikirannya. Pemikiran ini sejatinya selaras dengan konsep Paulo Freire yang melihat pendidikan bukan sekadar alat reproduksi sosial, melainkan jalan menuju kebebasan. Pendidikan harus melahirkan manusia yang kritis dan reflektif, bukan hanya penurut dan pengekor.
Begitu pula pandangan John Holt, tokoh pendidikan dari Amerika yang mengkritik keras sistem pendidikan formal yang mengekang kreativitas dan mereduksi makna belajar. Dalam pandangannya, gelar hanyalah simbol luar; tanpa fondasi etika, moral, dan spiritual, ia tidak membawa makna berarti.
Sebab itu, banyak orang bijak justru memilih untuk tidak memamerkan gelar mereka. Mereka menyadari bahwa setiap gelar membawa beban moral, tanggung jawab sosial, dan konsekuensi logis. Tidak elok kiranya seseorang menyandang gelar tinggi, tetapi perilakunya mencoreng martabat lembaga pendidikan, masyarakat adat, dan bahkan keluarga besarnya sendiri.
Gelar memang bisa mengangkat derajat, namun hanya jika sejalan dengan kualitas pribadi pemiliknya. Bukan semata-mata kecerdasan intelektual atau keberlimpahan finansial, tetapi juga diukur dari kedalaman spiritual, kepekaan etika, dan keluhuran akhlak.
Karena gelar tanpa kualitas sejati hanyalah simbol kosong. Ia bagaikan tiang yang menjulang tanpa pondasi kokoh—gampang roboh saat dihantam badai.(Efialdi)