Kampar,Cakrawala– Di tengah sorotan publik terhadap efisiensi belanja daerah, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) justru menemukan fakta memalukan di tubuh Pemerintah Kabupaten Kampar.
Belanja pegawai yang seharusnya dijaga ketat malah dikorupsi secara halus lewat pembayaran gaji dan tunjangan yang tidak sesuai aturan.
Jumlahnya tidak main-main: Rp419,49 juta uang rakyat menguap hanya karena kelalaian dan lemahnya pengawasan pejabat daerah.
BPK mengungkap, ada ASN yang sedang cuti besar dan tugas belajar tapi masih menerima gaji dan tunjangan penuh.
Padahal aturan jelas: pegawai yang sedang tugas belajar atau cuti di luar tanggungan negara tidak berhak menerima TPP dan tunjangan apapun.
Namun di Kampar, sistem penggajian seolah bisa ditawar-tawar.
Bahkan ada pegawai yang sudah CLTN (cuti di luar tanggungan negara) tapi masih menikmati gaji selama berbulan-bulan.
Kelebihan pembayaran ini mencapai Rp108,93 juta, sementara Rp310,56 juta lagi terindikasi sebagai tunjangan anak fiktif — anak yang sudah dewasa, bukan pelajar, tapi masih tercatat sebagai tanggungan ASN.
Lebih memalukan lagi, BPK menemukan ASN yang sudah bercerai masih menerima tunjangan pasangan, dengan nilai hampir Rp9,5 juta.
Ada juga anak-anak pegawai yang berusia di atas 25 tahun tapi tetap menerima tunjangan.
Faktanya, SIM Gaji milik BPKAD Kampar belum memiliki sistem otomatis untuk menghentikan pembayaran ketika syarat usia dan status tanggungan sudah tak terpenuhi.
Pertanyaannya: apakah ini murni kelemahan sistem, atau justru sengaja dibiarkan?
Tak berhenti di situ.
BPK juga menemukan adanya pemberian insentif pemungutan retribusi daerah yang melanggar aturan di Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP).
ASN yang seharusnya tidak berhak menerima insentif karena sudah menerima tambahan penghasilan (TPP) justru ikut menikmati uang tersebut.
Nilainya memang “hanya” Rp17,85 juta, tapi ini bukan sekadar angka — ini soal moralitas aparatur dan lemahnya filter hukum di tingkat dinas.
Ironisnya, alasan yang muncul dari pejabat terkait: “tidak tahu kalau remunerasi sama dengan TPP.”
Ketidaktahuan yang mahal harganya.
Temuan BPK ini menunjukkan satu hal: pengawasan keuangan ASN di Kampar amburadul.
Data pegawai tidak diverifikasi, SK cuti dan mutasi telat disampaikan, dan bendahara pengeluaran menutup mata terhadap data yang janggal.
Ini bukan sekadar kesalahan administrasi — ini kebocoran uang rakyat yang terjadi di ruang-ruang kantor pemerintahan, diam-diam tapi sistematis.
Jika tidak ada tindakan tegas, maka Kampar sedang mengajarkan bahwa kelalaian bisa jadi cara baru mencuri uang negara.
Masyarakat Kampar pantas marah.
Uang yang seharusnya digunakan untuk memperbaiki pelayanan publik justru dinikmati oleh ASN yang tidak berhak.
BPK sudah memberikan rekomendasi: kembalikan kelebihan pembayaran ke kas daerah, perbaiki sistem, dan tindak pejabat yang lalai.
Pertanyaannya sekarang, beranikah Bupati Kampar menindak bawahannya, atau justru ikut melindungi praktik bobrok ini.(Ef)