Dari Jalanan ke Panggung Politik: Ojol dan Gelombang Baru Perubahan Perkotaan

Jakarta,Cakrawala-Kehadiran ojek online (ojol) di kota-kota Indonesia bukan sekadar buah dari revolusi digital. Ia lahir dari kebutuhan nyata masyarakat urban akan transportasi yang cepat, fleksibel, dan terjangkau di tengah keterbatasan angkutan umum yang layak. Dalam waktu singkat, ojol menjelma sebagai solusi darurat atas kelemahan sistemik dalam tata kelola transportasi kita: pembangunan mass transit yang tertunda, integrasi antarmoda yang lemah, hingga abainya negara terhadap jutaan pekerja sektor informal.

 

Namun semalam, lanskap itu terguncang. Seorang pengemudi ojol, Affan Kurniawan, tewas tragis setelah terlindas kendaraan taktis Brimob saat mengikuti aksi demonstrasi di Jakarta. Ia bukan sekadar korban kecelakaan; kepergiannya menyentuh titik terdalam keresahan kolektif para pengemudi yang selama ini bekerja dalam ketidakpastian, diakui ketika dibutuhkan, namun diabaikan dalam kebijakan publik.

 

*Dari subuh ke subuh: denyut kehidupan kota*

 

Pengemudi ojol bukan lagi sekadar roda penggerak ekonomi digital. Dengan jumlah jutaan orang, mereka hadir di setiap sudut kota: dari gang sempit hingga pusat bisnis. Mereka hidup dalam jejaring komunikasi yang cair, mulai dari basecamp, grup WhatsApp, hingga aksi solidaritas di lapangan. Di balik seragam hijau yang kasat mata, tersimpan kemarahan senyap, lelah yang sama, dan harapan kolektif akan perlakuan yang lebih adil.

 

Modal sosial ini terlalu besar untuk diabaikan. Pertanyaannya kini: akankah helm hijau dan jaket aplikasi menjelma menjadi simbol identitas sosial-politik baru perkotaan? Bukan dalam bentuk partai, melainkan sebagai kekuatan moral yang menuntut keadilan, di tengah lambannya negara mereformasi sektor transportasi dan memberikan perlindungan bagi pekerja informal.

 

*Tragedi sebagai titik balik*

 

Sejarah Indonesia kerap bergerak lewat peristiwa tragis: dari tumpahnya darah buruh lahir serikat, dari tumbangnya mahasiswa bergulir reformasi. Dan mungkin, dari jalanan kota yang malam itu diselimuti sirene, dari deretan motor yang terparkir tanpa pengemudi, kita sedang menyaksikan babak baru lahir. Babak di mana helm hijau tak lagi sekadar pelindung kepala, melainkan simbol kesadaran baru tentang hak, solidaritas, dan perjuangan.

 

*Negara tak bisa terus diam*

 

Kematian Affan Kurniawan adalah peringatan keras. Ia menyingkap betapa rentannya posisi para pengemudi ojol: tulang punggung mobilitas urban yang setiap hari berjibaku, tetapi luput dari perlindungan negara. Sudah saatnya pemerintah berhenti bersikap pasif terhadap dinamika besar ini.

 

Pengakuan formal terhadap ojol sebagai bagian dari sistem transportasi nasional, jaminan perlindungan kerja, akses terhadap jaminan sosial, serta hak untuk berserikat dan menyuarakan aspirasi, harus menjadi agenda kebijakan ke depan. Tanpa langkah-langkah itu, kita hanya tinggal menunggu letupan sosial berikutnya—lebih besar, lebih luas, dan mungkin lebih sulit dikendalikan.

 

Ketika suara tak lagi menemukan ruang, jalanan selalu menjadi tempat bertemunya harapan dan kecewa. Bukan sekadar ruang untuk marah, tetapi penanda bahwa ada sesuatu yang sedang tidak baik-baik saja.(ef)

 

Muhamad Akbar

Pemerhati Transportasi