Pekanbaru,Cakrawala– Aktivitas galian tanah berskala besar kembali mencuat di wilayah Kecamatan Rumbai Pesisir, Kota Pekanbaru, tepatnya di kawasan Lembah Damai hingga Jl. Bypass Chevron. Dua titik lokasi terpantau menggunakan alat berat jenis excavator melakukan pengerukan tanah dalam volume besar.
Ironisnya, meski aktivitas itu jelas-jelas masuk kategori usaha pertambangan galian C, di lapangan tidak ditemukan satu pun plang izin resmi sebagaimana diatur dalam ketentuan perundang-undangan. Namun, salah satu penjaga di lokasi dengan enteng menyebut bahwa kegiatan tersebut “ada izinnya” — hanya saja tidak dipasang di lokasi.
Lebih mengherankan lagi, para pelaku di lapangan mengaku bagian dari kalangan pers atau wartawan. Klaim tersebut tentu mengundang tanda tanya besar: apakah status “wartawan” kini dijadikan tameng untuk melindungi praktik galian tanah yang belum jelas legalitasnya?
Padahal, menurut Pasal 158 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, setiap orang yang melakukan kegiatan penambangan tanpa izin resmi (IUP, IPR, atau IUPK) dapat dikenakan pidana penjara paling lama 5 tahun dan denda hingga Rp100 miliar.
Namun hingga berita ini diturunkan, kami masih menunggu klarifikasi resmi dari pihak Polsek Rumbai Pesisir. Aparat kepolisian seolah menutup mata terhadap aktivitas yang kian masif di kawasan itu.
Sementara di lapangan, aktivitas alat berat tetap berlangsung seperti tak tersentuh hukum. Debu beterbangan, bukit tanah dikeruk, dan truk-truk pengangkut hilir mudik tanpa tanda-tanda pengawasan dari pemerintah setempat maupun instansi berwenang.
Pertanyaannya kini, di mana negara saat aturan ditegakkan secara tebang pilih?
Dan jika benar para pelaku itu berlindung di balik kartu pers, apakah ini wajah baru dari penyalahgunaan profesi wartawan di lapangan.( Tim/Ef)













