Gubernur Riau Ditahan KPK, Plt SF Hariyanto Gelar Rapat Tertutup: Semua Kepala OPD Wajib Hadir!

Plt Gubernur Riau SF Hariyanto pimpin rapat tertutup usai KPK menahan Abdul Wahid.

Pekanbaru, MN Cakrawala — Sehari setelah Gubernur Riau Abdul Wahid ditetapkan sebagai tersangka kasus dugaan korupsi fee proyek atau “jatah preman” 5 persen, roda pemerintahan di Riau langsung bergolak. Pelaksana Tugas (Plt) Gubernur Riau SF Hariyanto bergerak cepat. Pada Kamis (6/11/2025) pagi, ia mengumpulkan seluruh pejabat eselon II dalam rapat tertutup di Ruang Melati, Kantor Gubernur Riau.

Pantauan di lapangan menunjukkan pintu ruangan dikunci rapat dan wartawan dilarang masuk. Seluruh pimpinan OPD diwajibkan hadir tanpa diwakilkan. Berdasarkan agenda resmi, rapat membahas Evaluasi Realisasi Fisik dan Keuangan APBD Tahun Anggaran 2025. Namun di tengah gemuruh kasus korupsi, suasana rapat terasa sarat dengan konsolidasi dan indikasi pembersihan birokrasi.

Langkah cepat SF Hariyanto dilakukan tak lama setelah Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian menunjuk dirinya sebagai Pelaksana Tugas Gubernur Riau, menyusul penahanan Abdul Wahid oleh KPK pada Rabu (5/11/2025). Penunjukan tersebut tertuang dalam Surat Mendagri Nomor 100.2.1.3/8861/SJ yang diteken Sekjen Kemendagri Tomsi Tohir. Dalam surat itu ditegaskan, kepala daerah yang sedang menjalani masa tahanan dilarang menjalankan tugas dan kewenangannya. Wakil kepala daerah wajib mengambil alih untuk menjamin kesinambungan pemerintahan.

Sementara itu, KPK telah menahan Abdul Wahid bersama dua pejabat kepercayaannya, yakni Kepala Dinas PUPR Riau Muhammad Arief Setiawan (MAS) dan Tenaga Ahli Gubernur Dani M Nursalam (DAN). Ketiganya dijerat dalam kasus dugaan pemerasan dan penerimaan fee proyek sebesar 5 persen dari nilai anggaran di Dinas PUPR-PKPP Provinsi Riau.

Dalam konferensi pers di Jakarta, Wakil Ketua KPK Johanis Tanak mengungkap bahwa kasus bermula dari laporan masyarakat mengenai adanya setoran rutin dari enam Kepala Unit Pelaksana Teknis (UPT) Jalan dan Jembatan. Fee itu awalnya disepakati sebesar 2,5 persen, namun oleh MAS—yang disebut sebagai representasi Gubernur—dinaikkan menjadi 5 persen atas perintah Abdul Wahid.

“Permintaan fee 5 persen itu di lingkungan dinas dikenal dengan istilah jatah preman,” kata Johanis Tanak. Bagi yang menolak, ancamannya adalah mutasi atau pencopotan jabatan. Dana dikumpulkan sejak Mei hingga November 2025 dengan total sekitar Rp4,05 miliar dari target Rp7 miliar. Setoran bahkan dikodekan dengan istilah “7 batang”, yang merujuk pada total nilai fee yang diminta.

KPK juga menemukan uang tunai Rp800 juta saat operasi tangkap tangan di Pekanbaru serta valuta asing senilai Rp800 juta di rumah pribadi Abdul Wahid di Jakarta Selatan. Total uang yang disita mencapai Rp1,6 miliar.

Rapat tertutup yang digelar SF Hariyanto pagi itu menjadi sorotan publik. Beberapa sumber internal Pemprov menyebut, selain membahas capaian fisik dan keuangan APBD, rapat juga berisi arahan kepada seluruh kepala OPD agar menjaga stabilitas birokrasi di tengah badai OTT KPK.

Namun publik menilai langkah itu belum cukup. Bau fee proyek dan praktik jatah preman telah menampar wajah pemerintahan Riau. Kini masyarakat menunggu apakah SF Hariyanto akan berani melakukan pembersihan besar-besaran, atau justru membiarkan sistem lama tetap berjalan di balik pintu rapat tertutup.

Kasus korupsi jatah preman 5 persen di Dinas PUPR Riau menjadi cermin buruknya kultur kekuasaan di daerah ini. Ketika proyek pembangunan diperlakukan sebagai ladang pungutan, rakyatlah yang menanggung akibatnya: jalan rusak, jembatan mangkrak, dan pelayanan publik memburuk.

Saat ini SF Hariyanto memiliki dua pilihan: membersihkan meja kekuasaan dari sisa kerak korupsi, atau menjadi bagian dari sistem yang diam dan membusuk perlahan. Rapat tertutup mungkin menenangkan birokrat, tetapi transparansi dan keberanianlah yang dinantikan publik.

(Efialdi/Red.)