Jaksa Tilap Barang Bukti Rp23,9 Miliar: Istri Kebagian Rp.8 Miliar, Jaksa Lain Aman  Ada Apa dengan Kejaksaan

Jakarta,Cakrawala-Jaksa Azam Akhmad Akhsya terbukti menilap uang barang bukti senilai Rp23,9 miliar dari kasus investasi bodong robot trading Fahrenheit.

Alih-alih diamankan untuk negara, uang itu justru dibagi-bagikan — bukan hanya untuk dirinya, tapi juga untuk sejumlah jaksa lain.

Yang lebih mengejutkan, Rp8 miliar di antaranya mengalir ke istri Azam, Tiara Andini.

 

Saat perbuatan ini terjadi, Azam masih menjabat sebagai jaksa di Kejaksaan Negeri Jakarta Barat. Kini ia sudah dipecat dan divonis 9 tahun penjara setelah putusan banding memperberat hukuman dari vonis awal 7 tahun.

 

Namun publik terhenyak bukan karena jumlah uang yang digelapkan, tapi karena para jaksa penerima uang haram itu tidak tersentuh proses pidana.

Mereka hanya dijatuhi sanksi etik oleh Jaksa Agung Muda Pengawasan (Jamwas) — dicopot dari jabatan, bukan diberhentikan sebagai ASN.

 

Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung, Anang Supriatna, membenarkan bahwa sejumlah jaksa memang menerima uang dari Azam.

Namun ia berdalih, “dalam kasus ini yang proaktif dengan pengacara itu si Azam, inisiasi dari dia, otaknya dia.”

 

Pernyataan ini menimbulkan tanda tanya besar:

Apakah menikmati uang hasil korupsi kini bukan lagi tindak pidana, asal bukan “otak” di baliknya?

 

Azam diketahui bersekongkol dengan dua pengacara korban investasi bodong, Oktavianus Setiawan dan Bonifasius Gunung, untuk menggelapkan barang bukti.

Dari total Rp23,9 miliar yang digelapkan, Rp11,79 miliar masuk ke kantong Azam sendiri, Rp1,1 miliar untuk kepentingan pribadi, dan Rp200 juta mengalir ke kakaknya. Sisanya dibagikan kepada sejumlah atasannya di lingkungan kejaksaan.

 

Meski semua nama-nama itu telah disebut dalam sidang, tak satu pun diproses hukum.

Di sinilah publik mulai muak.

Bagaimana mungkin institusi penegak hukum yang seharusnya bersih, justru terkesan melindungi mereka yang melanggar sumpah jabatannya sendiri?

 

Jika jaksa yang ikut menikmati hasil kejahatan hanya dicopot dari jabatan,

maka yang hilang bukan sekadar uang negara — tapi wibawa hukum itu sendiri.

 

Kini masyarakat hanya bisa bertanya:

Apakah Kejaksaan benar-benar menegakkan hukum, atau sekadar menjaga reputasi di atas busuknya integritas internal mereka sendiri.(Ef)