Kabid PENAISZAWA Menghindar, Transparansi Kegiatan Majelis Taklim di Hotel Drego Dipertanyakan

Kepala Kanwil Kemenag Riau: Majelis Itu yang Dipelihara Negara

Pekanbaru,Cakrawala-Kegiatan bertajuk Penguatan POKJA Majelis Taklim Tingkat Provinsi yang digelar Kanwil Kementerian Agama Provinsi Riau pada Kamis, 24 Juli 2025 di Hotel Drego Pekanbaru, kembali memperlihatkan potret buram pengelolaan anggaran kegiatan berbasis keagamaan yang digelar instansi pemerintah.

Dari pantauan lapangan dan data absensi yang dihimpun, hanya 24 dari 28 peserta non-ASN (utusan majelis taklim) yang hadir. Namun yang lebih mengejutkan, berdasarkan penelusuran awak media, sebagian dari peserta yang hadir ternyata belum terdaftar secara resmi sebagai majelis taklim di Kantor Kementerian Agama (KUA) setempat, sebagaimana yang diatur dalam PMA No. 29 Tahun 2019.

Padahal, keikutsertaan dalam kegiatan resmi yang menggunakan anggaran negara mensyaratkan legalitas dan kelengkapan administrasi, termasuk SK pembentukan dari lembaga induk, seperti pengurus masjid atau yayasan yang menaungi.

Ketiadaan verifikasi dokumen yang ketat menimbulkan pertanyaan:

Apakah kegiatan ini benar-benar ditujukan untuk memperkuat kelembagaan, atau sekadar menggugurkan formalitas dengan peserta yang belum memenuhi kualifikasi?

Sayangnya, upaya konfirmasi kepada Kabid PENAISZAWA Mas Jekki Amri MH, yang menjadi penanggung jawab kegiatan, tidak membuahkan hasil. Pesan resmi melalui WhatsApp tak direspons, dan yang bersangkutan terpantau menghindar dari awak media di lokasi kegiatan. Besaran anggaran kegiatan, rincian biaya hotel, konsumsi, dan publikasi pun tidak dipublikasikan secara terbuka.

Di sisi lain, Kepala Kanwil Kemenag Riau, Dr. H. Muliardi, M.Pd., saat dimintai keterangan, mengatakan bahwa kegiatan ini adalah bentuk perhatian negara terhadap eksistensi ormas keagamaan.

“Mungkin akan disentuh lagi daerah-daerah lain yang belum tersentuh. Karena negara sekarang sedang efisiensi,” ujarnya.

“Ormas itu, artinya majelis itu yang dipelihara negara. Karena ini salah satunya adalah majelis taklim, yang penguatannya dipelihara,” tambahnya.

Namun publik wajar mempertanyakan:

Jika negara sedang efisiensi, mengapa kegiatan justru dilangsungkan di hotel berbintang? Mengapa bukan di aula kantor kementerian atau rumah ibadah yang lebih hemat dan relevan secara konteks?

Lebih jauh, bagaimana bisa negara berbicara tentang “pemeliharaan dan penguatan majelis taklim” jika peserta yang dilibatkan belum terdaftar dan tidak memiliki legalitas sesuai regulasi yang dibuat oleh institusi itu sendiri?

Kegiatan yang mestinya menjadi momen penguatan dan pendataan kelembagaan justru dikhawatirkan berubah menjadi simulasi formalitas yang tidak menyentuh akar persoalan di lapangan. Ketika publik menuntut transparansi dan akuntabilitas, yang muncul justru praktik senyap, ketertutupan, dan dugaan pemborosan dengan kemasan pembinaan umat.(Tim/ef)