Pekanbaru,Cakrawala – Program pemerintah untuk menertibkan kendaraan Over Dimension dan Over Loading (ODOL) kembali dipertanyakan efektivitasnya. Meski tahapan penindakan telah dijadwalkan oleh Balai Pengelola Transportasi Darat (BPTD) Kelas II Riau, truk-truk ODOL masih bebas melintas di jalan-jalan utama Kota Pekanbaru tanpa tindakan nyata dari aparat berwenang.
_Tahapan Penindakan Sudah Jalan, Pelanggaran Tetap Marak_
Menurut data BPTD Kelas II Riau, penanganan ODOL dilakukan dalam tiga tahap:
* Juni 2025, dilakukan sosialisasi dan penandatanganan SKB antar lembaga,
* Juli 2025, tahap peringatan dan pendataan kendaraan, dan
* Agustus 2025, tahap penindakan langsung berupa sanksi dan penundaan operasional kendaraan yang tidak memenuhi standar dimensi maupun daya angkut.
Namun fakta di lapangan berbicara lain. Dump truck dengan bak dimodifikasi dan muatan berlebih masih leluasa melintas di sejumlah ruas jalan utama Pekanbaru, dari Jalan Yos Sudarso hingga Jalan Garuda Sakti.
Kondisi ini jelas bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, terutama Pasal 106 ayat (3), Pasal 169 ayat (1), dan Pasal 277, yang mewajibkan kendaraan bermotor memenuhi persyaratan teknis dan laik jalan serta melarang modifikasi tanpa uji tipe ulang.
_Pejabat Terkait Bungkam_
Upaya konfirmasi kepada pihak terkait pun berakhir tanpa jawaban.
Plt Kepala Dinas Perhubungan (Kadishub) Kota Pekanbaru, Sunarko, tidak memberikan respon hingga berita ini ditulis terkait masih ditemukannya truk ODOL yang bebas melintasi jalan umum.
Sementara itu, Kepala BPTD Kelas II Riau, Muttaqin, melalui Humas Ario Wibowo, saat dikonfirmasi mengenai bukti nyata beroperasinya truk ODOL di wilayah Kota Pekanbaru belum memberikan keterangan.
Hal serupa juga terjadi di pihak kepolisian. Kasat Lantas Polresta Pekanbaru, AKP Satrio B. W. Wicaksana S.I.K., M.H, belum memberikan jawaban saat diminta tanggapan terkait dump truck yang tidak sesuai standar dimensi namun masih beroperasi di jalan umum.
_LPKSM JIHAT: Penegakan Hukum Setengah Hati_
Ketua Bidang Hukum dan Advokasi LPKSM Jaringan Informasi Himpunan Rakyat (JIHAT) Kota Pekanbaru, Mardun, S.H., CTA, menilai lemahnya penegakan hukum terhadap ODOL menunjukkan pembiaran sistematis oleh instansi terkait.
“Kami mempertanyakan keseriusan instansi terkait dalam menegakkan aturan. Regulasi sudah ada, sanksinya jelas, tapi kalau tidak dijalankan dengan tegas, maka aturan itu hanya jadi formalitas. Ini bukan sekadar pelanggaran teknis, tapi sudah menyangkut keselamatan publik,” tegas Mardun.
Ia juga menambahkan, pembiaran terhadap kendaraan ODOL sama saja dengan pelanggaran hukum yang dilakukan secara pasif oleh aparat.
“Kalau aparat tahu ada pelanggaran tapi membiarkan, maka ada unsur kelalaian dan pembiaran. Ini bisa menimbulkan konsekuensi hukum, apalagi jika sampai terjadi kecelakaan akibat kendaraan yang tidak laik jalan,” ujarnya lagi.
_Aturan Ada, Tapi Tidak Ditegakkan_
Sesuai ketentuan Pasal 277 UU LLAJ, setiap orang atau badan usaha yang memodifikasi kendaraan hingga mengubah tipe tanpa uji ulang dapat dipidana penjara paling lama satu tahun atau denda maksimal Rp24 juta.
Namun ancaman ini tampaknya hanya berhenti di atas kertas. Di lapangan, sanksi nyaris tidak pernah diterapkan, sementara truk ODOL terus melintas seolah kebal hukum.
_Jalan Rusak, Wibawa Hukum Ikut Ambruk_
Fenomena ODOL yang dibiarkan beroperasi bukan hanya soal pelanggaran teknis, tetapi soal wibawa hukum dan tanggung jawab moral pemerintah.
Setiap kilometer jalan yang rusak akibat kelebihan muatan adalah kerugian publik yang nilainya miliaran rupiah.
Jika pembiaran ini terus berlangsung, masyarakat berhak bertanya:
“Untuk siapa sebenarnya kebijakan ODOL ditegakkan — untuk keselamatan rakyat, atau sekadar formalitas di atas kertas.(Ef)