Pekanbaru,Cakrawala-Apa jadinya jika pejabat tertinggi di pemerintahan kota justru menjadi arsitek kejahatan anggaran? Pekanbaru mendapat jawabannya lewat Risnandar Mahiwa, Indra Pomi, dan Novin Karmila—trio kekuasaan yang kini duduk sebagai terdakwa dalam kasus korupsi anggaran rutin Pemko Pekanbaru.
Di tengah kondisi kas daerah yang berdarah-darah, ketiganya memaksa agar anggaran Setdako dicairkan lebih dulu, bahkan menginjak kepentingan satuan kerja lain yang tengah menunggu giliran. Fakta ini diungkap langsung oleh Kabid Perbendaharaan BPKAD, Harianto, yang menyebut mereka menekan, mengawal, dan mengintervensi agar dana miliaran rupiah mengalir deras ke ruang kerja sendiri.
Ini bukan sekadar praktik administrasi yang agresif. Ini adalah bentuk paling telanjang dari arogansi birokrasi. Pj Wali Kota kala itu, Risnandar Mahiwa, bahkan memerintahkan secara terbuka: “Dahulukan Setdako, yang lain belakangan.” Kalimat yang mencerminkan betapa kekuasaan telah buta terhadap etika dan keadilan anggaran.
Tidak berhenti sampai di sana, praktik pencairan ini ternyata hanyalah pintu masuk bagi permainan kotor yang lebih besar: pemotongan GU dan TU secara sistematis, dengan nilai kerugian negara mencapai hampir Rp9 miliar. Dan seperti koruptor lainnya, gratifikasi menjadi pelengkap: uang ratusan juta rupiah, pakaian mewah, hingga tas eksklusif berpindah tangan secara ilegal. Semua itu tak dilaporkan ke KPK, tak pula disamarkan—seolah mereka yakin takkan pernah disentuh hukum.
Apa yang dilakukan Risnandar, Indra, dan Novin bukan hanya mencoreng nama Pemko Pekanbaru. Mereka telah menjadikan jabatan publik sebagai alat tukar kepentingan pribadi, dan birokrasi sebagai mesin penghisap uang rakyat. Ini adalah wajah korupsi modern: sopan di depan, serakah di belakang.
Kini, pertanyaannya bukan hanya soal berapa tahun penjara yang akan mereka jalani. Tapi sejauh mana publik bisa mendorong aparat penegak hukum membongkar seluruh jaringan kejahatan anggaran ini—karena kebusukan seperti ini jarang berdiri sendiri.
Korupsi tidak akan pernah hilang jika pelakunya hanya dicap sebagai “oknum.” Mereka adalah sistem. Dan sistem ini harus dirobohkan.(EF)