Ki Darmaningtyas Kritik Keras Larangan Bajai di DIY: Ini Moda Transportasi Berkeselamatan, Kenapa Dilarang

Yogyakarta,Cakrawala-Peneliti transportasi dari INSTRAN (Inisiatif Strategis untuk Transportasi), Ki Darmaningtyas, menyayangkan keputusan Pemerintah Provinsi DIY serta pemerintah kabupaten/kota di wilayah Yogyakarta yang melarang operasional Bajai. Ia menilai kebijakan itu justru menghambat hadirnya moda angkutan lingkungan yang lebih berkeselamatan dan terjangkau bagi masyarakat.

Menurutnya, sejak becak tradisional di Yogyakarta berubah menjadi becak motor (bentor) pada 2012–2014, kota ini praktis kehilangan angkutan lingkungan yang benar-benar aman, nyaman, dan ramah lingkungan. Ia bahkan menghentikan produksi becak tradisional karena kecewa terhadap maraknya bentor.

“Lebih dari 10 tahun Yogya tidak punya angkutan lingkungan yang berkeselamatan. Saat Bajai hadir, saya justru melihat harapan baru,” ujar Ki Darmaningtyas. Ia menyebut Bajai—yang saat ini hadir di Yogya lewat layanan Max Ride—lebih aman dan nyaman dibandingkan transportasi roda dua, dengan tarif yang tetap kompetitif.

Karena itu, ia terkejut ketika mengetahui Pemprov DIY hingga pemerintah kabupaten/kota memilih melarang operasional Bajai, langkah yang juga diikuti Pemerintah Kota Surakarta. Baginya, keputusan itu tidak masuk akal.

Ki Darmaningtyas mengajukan sejumlah argumen:

1. Bajai merupakan moda yang berkeselamatan, aman, dan terjangkau.
Jika pemerintah daerah membutuhkan moda angkutan lingkungan yang layak, kata dia, Bajai seharusnya difasilitasi, bukan dilarang.

2. Jika alasan larangan adalah izin, maka pemerintah justru wajib memproses dan menerbitkan izin.
Ia mempertanyakan konsistensi penegakan aturan, mengingat banyak moda roda dua dan tiga di Yogyakarta yang selama ini bebas beroperasi meski belum tentu memiliki izin lengkap. “Kenapa mereka boleh, sementara Bajai tidak?”

3. Bajai ramah bagi pelajar dan keluarga.
Dengan kapasitas 2–3 penumpang dan tarif lebih hemat, moda ini dapat menjadi solusi efisien bagi pelajar dan orang tua yang ingin menghemat biaya transportasi.

4. Yogyakarta memiliki minimnya layanan transportasi publik.
Sebagai kota pelajar dan destinasi wisata, Ki Darmaningtyas menilai Yogya kalah kompetitif dibandingkan kota lain seperti Malang atau Jakarta yang memiliki layanan angkutan kota lebih memadai. Kehadiran Bajai—tanpa membebani APBN/APBD—justru menambah pilihan layanan publik.

Ia menegaskan, yang perlu dilakukan pemerintah bukan menutup pintu bagi inovasi transportasi, melainkan menetapkan standar keselamatan yang jelas. “Bajai bisa mengikuti uji berkala, syarat teknis, dan standar keselamatan yang ditentukan Dishub. Itu jauh lebih konstruktif daripada melarang.”

Ki Darmaningtyas akhirnya kembali menegaskan bahwa larangan ini merugikan masyarakat yang membutuhkan moda alternatif yang aman, murah, dan nyaman.(Ef)