Ojol Populer, Tapi Layakkah Disebut Angkutan Umum

Jakarta,Cakrawala-Sulit membayangkan kota tanpa ojek online. Dari berangkat kerja, rapat mendadak, sampai pesan makan siang, semua bisa beres lewat aplikasi. Popularitas ojol memang tak terbantahkan. Tapi ada pertanyaan besar: apakah sepeda motor benar-benar layak disebut sebagai angkutan umum?

 

Secara hukum, jawabannya jelas: tidak. UU Nomor 22 Tahun 2009 hanya mengakui mobil penumpang, bus, dan mobil barang sebagai angkutan umum. Sepeda motor tidak termasuk. Regulasi ojol selama ini hanya berdiri di atas aturan teknis Permenhub. Artinya, posisi penumpang dan pengemudi tetap rapuh. Jika terjadi kecelakaan atau sengketa, perlindungan hukumnya sangat lemah.

 

Dari sisi keselamatan, risikonya juga tinggi. Data Polri mencatat lebih dari 70 persen kecelakaan lalu lintas melibatkan sepeda motor. Angkutan umum resmi punya standar perlindungan—karoseri, sabuk pengaman, sistem peredam benturan. Motor hanya helm. Begitu jatuh, pengendara dan penumpang langsung berhadapan dengan aspal.

 

Lalu bagaimana dampaknya ke kota? Ribuan motor ojol membanjiri jalan, membuat lalu lintas makin semrawut. Parkir liar menutup badan jalan, polusi meningkat, dan transportasi massal—yang mestinya jadi tulang punggung kota—malah makin tersisih. Padahal, solusi kemacetan ada pada MRT, LRT, BRT, dan kereta komuter, bukan pada motor yang bergerak sendiri-sendiri.

 

Maka jelas: ojol memang fenomena penting, tapi bukan angkutan umum dalam arti sesungguhnya. Ia seharusnya ditempatkan sebagai feeder service, penghubung ke halte atau stasiun, bukan menggantikan bus dan kereta. Jika negara serius membangun transportasi yang modern dan manusiawi, arah kebijakannya harus tegas: berpihak pada transportasi massal, bukan menyerah pada pragmatisme ojol.(ef)

Sumber    : Muhammad Akbar, Pemerhati Transportasi