Jakarta,Cakrawala-Indonesia boleh berbangga karena sektor perumahan terus tumbuh, tetapi di balik deretan kompleks dan cluster baru itu, ada satu hal yang nyaris selalu terlupakan: akses transportasi umum.
Negara tampak sibuk membangun rumah, tapi lupa membangun jalan menuju kehidupan di dalamnya.
Lebih dari 95 persen kawasan perumahan di Indonesia tidak memiliki akses transportasi publik.
Warga terpaksa bergantung pada kendaraan pribadi untuk sekadar menuju tempat kerja, sekolah, atau pusat layanan publik. Akibatnya, kota semakin sesak, polusi meningkat, dan biaya hidup melonjak.
Kementerian Perhubungan sendiri mengakui bahwa sebagian besar kawasan perumahan kita tidak terjangkau layanan angkutan umum massal.
Padahal, idealnya halte atau stasiun bisa dijangkau dengan berjalan kaki sejauh maksimal 500 meter dari rumah.
Kenyataannya, banyak warga harus keluar kompleks, menumpang ojek, atau bahkan menyetir sendiri hanya untuk mencapai titik transportasi publik.
Krisis ini tidak hanya membuat masyarakat kehilangan kenyamanan, tetapi juga menimbulkan kerugian ekonomi besar.
Menurut data BPS 2018, biaya transportasi rumah tangga mencapai 12,46% dari total pengeluaran, jauh di atas standar ideal 10% versi Bank Dunia.
Artinya, jutaan keluarga Indonesia membayar lebih mahal untuk bergerak — karena negara gagal menyediakan sistem transportasi yang terintegrasi dengan kawasan perumahan.
Ironisnya, pada era sebelum 1990-an, setiap pembangunan perumahan wajib dilengkapi layanan angkutan umum.
Namun, kebijakan itu kini nyaris hilang tanpa jejak.
Padahal, perumahan tanpa transportasi publik hanyalah “kantong isolasi” yang menambah beban kota.
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman perlu segera direvisi.
UU tersebut sama sekali tidak mewajibkan penyediaan transportasi umum sebagai sarana umum.
Inilah akar masalah yang membuat perumahan berkembang tanpa arah dan tanpa akses.
Sementara pemerintah pusat terus mengurangi anggaran skema Buy The Service (BTS) — dari Rp582,98 miliar (2023) menjadi hanya Rp82,6 miliar (2026) — beberapa pemerintah daerah justru menunjukkan langkah berani.
Pekanbaru, Semarang, dan Batam menjadi contoh bagaimana komitmen lokal bisa mengisi kekosongan kebijakan nasional:
1. Perda Kota Pekanbaru No. 2 Tahun 2024 mengatur pembiayaan angkutan umum massal hingga 5% dari APBD.
2. Perda Kota Semarang No. 11 Tahun 2024 juga mengalokasikan 5% dari APBD untuk subsidi transportasi umum.
3. Perda Kota Batam No. 1 Tahun 2025 bahkan mewajibkan 10% dari opsen Pajak Kendaraan Bermotor untuk sistem Bus Rapid Transit (BRT).
Langkah-langkah seperti ini adalah bukti bahwa perubahan bisa dimulai dari daerah, bukan sekadar menunggu pusat.
Ketika pemerintah pusat menurunkan anggaran transportasi publik, pesan yang muncul justru kabur: apakah Indonesia benar-benar serius ingin membangun kota yang layak huni?
Jika pemerintah dapat mengalokasikan Rp1,2 triliun per hari untuk program makan bergizi gratis, maka dengan jumlah yang sama, 20 kota kecil dan sedang di Indonesia bisa memiliki sistem angkutan umum yang memadai selama setahun penuh.
Itu bukan sekadar efisiensi anggaran, tetapi investasi jangka panjang bagi kualitas hidup masyarakat.
Transportasi bukan sekadar alat bergerak, melainkan urat nadi keadilan sosial dan ekonomi.
Setiap rumah seharusnya terhubung dengan sekolah, pasar, rumah sakit, dan tempat kerja melalui sistem transportasi publik yang aman, murah, dan teratur.
Tanpa itu, program pembangunan perumahan hanya menciptakan permukiman yang terpisah — bukan komunitas yang hidup.
Jika pemerintah benar-benar ingin mewujudkan Indonesia Emas 2045, pembenahan transportasi umum harus dimulai dari tempat paling dasar: rumah.
Karena rumah tanpa akses hanyalah bangunan.
Dan negara yang membangun rumah tanpa transportasi publik, sejatinya sedang membangun keterasingan.(ef)
Sumber : Djoko Setijowarno
Akademisi Prodi Teknik Sipil Unika Soegijapranata dan Wakil Ketua Pemberdayaan dan Pengembangan Wilayah Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) Pusat