Retorika di Ujung Pesisir: Ketika Janji Gubernur Wahid Mengambang di Laut Harapan

Pekanbaru,Cakrawala-Di tengah gegap gempita acara tasyakuran di Kabupaten Rokan Hilir, Gubernur Riau Abdul Wahid kembali melontarkan janji lama yang terdengar manis, namun terasa getir bagi masyarakat pesisir yang sudah terlalu sering menjadi korban narasi pembangunan yang tak pernah selesai.

Mengklaim sebagai pemimpin yang mencintai pesisir, Wahid menyebut masyarakat tepian sungai dan laut sebagai sosok tangguh dan ulet. Namun apa gunanya pujian jika jalan-jalan penghubung antarwilayah masih rusak, jika akses pelayanan dasar tetap tertinggal, dan jika pembangunan hanya sebatas mimpi yang tak kunjung bangun?

Dengan metafora kapal besar bernama Riau, Wahid ingin tampil sebagai nahkoda yang membawa perubahan. Namun kapal ini terombang-ambing tanpa arah jelas. Janji konektivitas dari Kubu ke Dumai hingga Sinaboi mungkin terdengar megah di podium, tapi realisasinya tertahan oleh satu realitas: anggaran minim dan defisit anggaran provinsi yang terus membesar.

Wahid bahkan mengakui bahwa pembangunan jalan di pesisir tidak bisa dilakukan dengan pendekatan sederhana. Ia bicara soal mahalnya logistik, sulitnya material, dan perlunya “multi yes” — kalimat yang justru memperlihatkan lemahnya kapasitas pemerintah dalam merancang solusi nyata bagi wilayah yang selama ini dianaktirikan.

Tepuk tepung tawar yang ia terima dalam prosesi adat mungkin bisa melapangkan jalan secara simbolik. Tapi masyarakat pesisir butuh lebih dari sekadar simbol. Mereka butuh bukti. Butuh jalan yang bisa dilalui, sekolah yang layak, layanan kesehatan yang terjangkau. Bukan seremoni, bukan harapan kosong.

“Saya tidak ingin banyak janji tapi tak ditepati,” katanya. Tapi publik tak lupa, pernyataan serupa pernah diucapkan oleh pemimpin-pemimpin sebelumnya — dan hari ini, banyak dari mereka dikenang bukan karena keberhasilan, tapi karena kegagalannya memenuhi janji.

Masyarakat pesisir tak butuh pemimpin yang gemar berkata-kata. Mereka butuh seorang gubernur yang bekerja dalam diam namun menyulap tanah berlumpur jadi jalan beton, yang menjahit pulau-pulau dengan jembatan nyata, bukan kalimat indah yang berakhir jadi arsip pidato.(Ef)