Sirene dan Strobo: Simbol Darurat atau Simbol Arogansi di Jalan

Pekanbaru,Cakrawala– Sirene dan rotator atau yang populer disebut strobo,sejatinya diciptakan sebagai alat peringatan darurat. Namun, di jalanan Indonesia, justru kerap menimbulkan penolakan. Bukan tanpa alasan, masyarakat sudah jenuh dengan kebisingan dan penyalahgunaan yang membuat keberadaannya lebih mengganggu daripada membantu.

 

_Penyebab Penolakan_

 

1. Penyalahgunaan sebagai hak istimewa

Banyak warga menyaksikan strobo dipakai kendaraan pribadi atau pejabat yang bukan dalam kondisi darurat hanya untuk menerobos macet. Situasi ini menumbuhkan persepsi bahwa strobo bukan lagi simbol keselamatan, melainkan simbol privilege.

 

2. Gangguan dan kebisingan

Suara sirene yang nyaring, apalagi di tengah malam, sangat mengganggu kenyamanan. Bagi orang sakit, lansia, hingga anak-anak, bunyi berlebihan itu dapat menimbulkan stres dan kecemasan.

 

3. Regulasi lemah dan penegakan tumpul

Aturan sebenarnya jelas: hanya ambulans, pemadam kebakaran, polisi, dan kendaraan prioritas lain yang berhak menggunakan strobo. Namun, lemahnya pengawasan membuat banyak pengguna jalan seenaknya menyalakan sirene tanpa izin.

 

4. Turunnya kepercayaan publik

Ketika sirene dibunyikan sembarangan, masyarakat jadi ragu apakah itu benar-benar darurat. Akibatnya, dalam kondisi nyata, respon memberi jalan bisa melambat.

 

_Payung Hukum_

 

Pasal 134 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 menegaskan urutan kendaraan yang mendapat prioritas, mulai dari pemadam kebakaran hingga iring-iringan jenazah. Pasal 135 menambahkan, kendaraan prioritas harus dikawal polisi dan menggunakan isyarat lampu merah/biru serta sirene.

 

Bagi yang melanggar, sanksinya diatur Pasal 287 ayat 4: pidana kurungan maksimal 1 bulan atau denda Rp250 ribu. Sayangnya, hukuman ini dinilai terlalu ringan sehingga tidak menimbulkan efek jera. Revisi aturan dengan sanksi lebih berat dianggap mendesak.

 

Fenomena penyalahgunaan strobo memicu protes masyarakat, baik di jalan maupun di media sosial. Warga menuntut penegakan hukum yang lebih tegas dan penggunaan sirene yang benar-benar sesuai peruntukan.

 

Langkah Kakorlantas Polri Irjen Pol. Agus Suryonugroho untuk menertibkan penggunaan strobo patut diapresiasi. Namun publik menekankan, kebijakan ini tidak boleh sekadar sementara.

 

Dalam konteks lalu lintas perkotaan yang padat, seperti Jakarta, usulan pembatasan pengawalan hanya untuk Presiden dan Wakil Presiden juga mengemuka. Pejabat negara lain tidak seharusnya diperlakukan dengan pengawalan berlebihan.

 

Penolakan masyarakat terhadap sirene dan rotator bukan sekadar urusan kenyamanan, tapi menyangkut keadilan dan keselamatan. Tanpa regulasi tegas dan penggunaan yang bertanggung jawab, strobo hanya akan terus menjadi simbol arogansi di jalan, alih-alih penyelamat nyawa.(Ef)

 

Sumber : Djoko Setijowarno, Akademisi Prodi Teknik Sipil Unika Soegijapranata dan Wakil Ketua Pemberdayaan dan Pengembangan Wilayah Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) Pusat