Pekanbaru,MNC.Com-Dugaan ketidaktepatan sasaran dan lemahnya verifikasi peserta kegiatan Penguatan POKJA Majelis Taklim Tingkat Provinsi yang digelar Kanwil Kementerian Agama (Kemenag) Riau pada 24 Juli 2025 di Hotel Drego, kini memasuki babak baru yang lebih serius. Temuan di lapangan menunjukkan adanya potensi penyimpangan prosedur dalam penerbitan Surat Keterangan Terdaftar (SKT) Majelis Taklim, yang menjadi dasar legalitas bagi peserta kegiatan yang menggunakan dana negara.
Seorang jemaah dari Kabupaten Kampar secara terbuka mempertanyakan kredibilitas proses administrasi itu.
“ID majelis taklim atau SKT yang dikeluarkan Kemenag Kampar itu perlu dipertanyakan. Melalui jalur mana mereka masuk kok bisa terbit SKT-nya? Kami ragu ini sesuai prosedur,” ungkapnya kepada media.
Keheranan yang sama juga disampaikan oleh pengurus Masjid Darul Iman ketika dikonfirmasi terkait nama Majelis Taklim Darul Iman yang terdaftar sebagai peserta.
“Kami malah kaget kok bisa keluar ID atau SKT-nya. Padahal kami merasa belum pernah mengeluarkan SK pembentukan majelis taklim tersebut,” ujar salah satu pengurus.
Kepala KUA Kecamatan Tambang juga menyebut bahwa data tentang Majelis Taklim Darul Iman belum lengkap secara administratif.
“Nama pengurus dan nomor kontak masih diminta pihak desa, Pak. SK-nya juga belum kami terima,” jelasnya.
Lebih mengejutkan lagi, berdasarkan data internal Kemenag Kampar, Majelis Taklim Al-Muttaqin yang juga tercatat sebagai peserta, bahkan tidak ditemukan dalam sistem pendaftaran atau basis data resmi.
Fakta-fakta ini memperkuat indikasi bahwa prosedur penerbitan SKT dan pemanggilan peserta kegiatan tidak dilakukan sesuai SOP sebagaimana diatur dalam PMA No. 29 Tahun 2019 tentang Majelis Taklim. Jika benar ada majelis taklim “fiktif” atau tidak terdaftar namun ikut kegiatan dan menikmati fasilitas negara, maka ini merupakan bentuk maladministrasi yang sangat serius.
Sementara itu, Kabid PENAISZAWA Kanwil Kemenag Riau, Mas Jekki Amri MHS, selaku penanggung jawab teknis kegiatan, masih menghindar dari konfirmasi dan belum memberikan jawaban atas berbagai pertanyaan yang dilayangkan media sejak sebelum kegiatan berlangsung.
Dalam situasi ini, Aparat Penegak Hukum (APH) didesak untuk turun tangan melakukan penyelidikan. Jika terbukti ada manipulasi administrasi, rekayasa dokumen, atau penggunaan anggaran negara untuk kegiatan yang tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan, maka pihak-pihak terkait harus dimintai pertanggungjawaban secara hukum.
Negara sedang bicara efisiensi, tapi faktanya kegiatan dilaksanakan di hotel berbintang dengan peserta yang sebagian belum jelas legalitasnya. Apakah ini bentuk pembinaan umat, atau justru praktik pembiaran yang mengarah pada penyimpangan?
Pertanyaan-pertanyaan ini hanya bisa dijawab jika aparat penegak hukum berani masuk dan membongkar apa yang sebenarnya terjadi di balik kegiatan yang mengatasnamakan pembinaan majelis taklim, tapi justru menyimpan aroma kuat ketidaktertiban dan kemungkinan penyimpangan anggaran.(ef)