Jaket Hijau Masuk Istana, Sopir Konvensional di Pinggir Jalan

Jakarta,Cakrawala-Dalam satu dekade terakhir, wajah transportasi Indonesia berubah cepat. Ojek online (ojol) yang awalnya sekadar moda baru kini menjelma jadi kekuatan sosial sekaligus politik. Jaket hijau mereka terlihat di jalanan kota, di layar ponsel, bahkan di ruang istana. Politisi pun berbondong-bondong merangkul mereka—berfoto di basecamp, menggelar dialog, hingga menjadikan ojol simbol kedekatan dengan rakyat.

 

Kontras dengan itu, pengemudi konvensional seperti sopir truk, bus, angkot, hingga taksi justru jarang mendapat sorotan. Padahal, mereka jauh lebih lama menggerakkan roda transportasi nasional. Tanpa mereka, distribusi barang dan mobilitas manusia akan lumpuh. Namun gaung mereka tenggelam, seolah kalah pamor dari fenomena ojol.

 

Identitas dan Solidaritas

Keunggulan ojol terletak pada identitas kolektif. Jaket dan helm hijau dengan logo aplikasi membuat mereka mudah dikenali, sekaligus menyatukan jutaan pengemudi. Solidaritas itu semakin kokoh di era digital. WhatsApp, Telegram, dan media sosial memungkinkan mereka bergerak cepat—dari urusan iuran solidaritas hingga protes tarif nasional.

 

Sebaliknya, pengemudi konvensional tercerai-berai. Seragam berbeda-beda, organisasinya lemah, dan cenderung lebih mengutamakan kepentingan pengusaha. Suara pengemudi jarang terangkat sebagai agenda nasional.

 

Ketimpangan Media dan Politik

Ojol identik dengan kisah humanis: perjuangan mencari nafkah, kecelakaan kerja, hingga aksi solidaritas. Media rajin mengangkat cerita semacam ini, membuat ojol cepat lekat di mata publik. Politisi pun melihat mereka sebagai segmen strategis. Dengan sekali foto bersama ojol, simpati publik bisa langsung diraih.

 

Sebaliknya, pengemudi konvensional baru muncul di pemberitaan saat ada kecelakaan besar, isu ODOL, atau kemacetan karena angkot ngetem. Hampir tak ada ruang untuk menyorot pengorbanan sopir bus malam yang tak libur saat mudik, atau sopir truk yang tidur berhari-hari di kabin demi memastikan barang sampai. Minimnya narasi positif membuat posisi mereka makin lemah di ruang publik.

 

Membangun Keseimbangan

Kesenjangan ini tidak boleh dibiarkan. Ada beberapa langkah penting yang perlu didorong:

 

1. Organisasi mandiri pengemudi konvensional yang lintas moda—bus, truk, angkot, taksi—agar aspirasi mereka benar-benar terwakili, bukan sekadar kepentingan pengusaha.

 

2. Identitas simbolik nasional. Jika ojol punya jaket hijau, pengemudi konvensional pun bisa memiliki rompi oranye terang dengan emblem “Pengemudi Indonesia”—mudah dikenali sekaligus meningkatkan keselamatan.

 

3. Perlindungan sosial yang setara. Semua pengemudi berhak atas BPJS Ketenagakerjaan, jaminan kesehatan, hingga skema pensiun. Regulasi juga harus menata tarif ojol secara adil dan memperbaiki pola kerja sopir konvensional yang kerap membebani.

 

4. Narasi positif di media. Kisah pengemudi konvensional harus lebih banyak diangkat. Mereka juga punya cerita perjuangan dan solidaritas yang layak viral.

 

Transportasi Indonesia tak boleh timpang narasi. Ojol memang ikon era digital, tapi pengemudi konvensional tetap tulang punggung transportasi nasional. Sudah saatnya jaket hijau ojol dan rompi oranye sopir konvensional berdiri sejajar sebagai simbol persatuan profesi.

 

Keduanya sama-sama memastikan distribusi barang dan pergerakan manusia berjalan lancar. Dan keduanya sama-sama layak dihargai, dilindungi, serta diperjuangkan.(Ef)