Motor, Moda Antara yang Tak Boleh Menjadi Takdir Kota

Masyarakat Transportasi Indonesia menyoroti ketergantungan masyarakat pada sepeda motor dan mendorong pembangunan transportasi publik yang adil dan aman.

Jakarta, MN Cakrawala Oleh: Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI)

Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) menyoroti fenomena ketergantungan ekstrem masyarakat Indonesia terhadap sepeda motor. Dalam pandangannya, motor hanyalah moda antara yang seharusnya menjadi jembatan menuju sistem transportasi publik yang lebih baik, bukan menjadi takdir permanen kota-kota Indonesia.

“Sepeda motor memang efisien, tapi bukan simbol kemajuan. Negara maju bukan yang punya motor terbanyak, melainkan yang warganya paling sedikit perlu motor untuk hidup produktif,” tegas MTI dalam pernyataannya berjudul ‘Motor, Moda Antara yang Tak Boleh Menjadi Takdir Kota’.

MTI menilai, sepeda motor telah menjadi solusi praktis yang berubah menjadi ketergantungan massal. Dengan lebih dari 120 juta unit yang beroperasi di Indonesia, motor memang mampu menembus kemacetan dan menjangkau gang sempit. Namun di balik itu, muncul paradoks besar: kota menjadi padat, polusi meningkat, dan tingkat kecelakaan melonjak.

Lebih dari 75 persen korban kecelakaan lalu lintas di Indonesia adalah pengendara sepeda motor. Kondisi ini menunjukkan bahwa efisiensi yang selama ini dipuja justru dibayar mahal dengan keselamatan dan kesehatan publik.

Dalam kajiannya di Kalimantan Timur, MTI menemukan rumah tangga miskin di perkotaan menghabiskan hingga 50 persen pendapatan bulanan untuk transportasi—terutama cicilan dan biaya operasional motor.

“Motor bukan tanda produktivitas, melainkan bukti gagalnya transportasi publik menyediakan pilihan yang layak,” tulis MTI.

Ketika masyarakat kecil harus membeli kendaraan pribadi hanya agar bisa bekerja, transportasi berubah dari hak menjadi beban.

MTI juga menyoroti rencana pemerintah menyiapkan Peraturan Presiden (Perpres) tentang Layanan Berbasis Platform, termasuk pengaturan layanan ojek daring. Kebijakan ini diharapkan mengatur sejumlah hal penting, seperti:

  • tarif dasar dan tarif per kilometer agar pendapatan mitra lebih adil,
  • pembatasan potongan aplikator maksimal 20 persen,
  • kewajiban kepesertaan BPJS Ketenagakerjaan dan Kesehatan,
  • serta transparansi algoritma pemesanan dan penonaktifan akun.

Namun MTI mengingatkan, arah kebijakan tersebut harus diperkuat secara hukum agar tidak menimbulkan ketidakpastian baru bagi jutaan pengemudi.

Dalam sikap resminya, MTI mengajukan sejumlah poin rekomendasi kebijakan:

  1. Status Kerja dan Perlindungan Sosial: Pemerintah tidak perlu memaksakan status pekerja formal bagi pengemudi ojek daring, tetapi harus menjamin perlindungan melalui skema Bukan Penerima Upah (BPU) dengan iuran harian yang fleksibel.
  2. Beban Iuran dan Potongan Aplikator: Iuran BPJS harus dirancang agar tidak menambah beban baru bagi pengemudi. MTI mencontohkan model cost-sharing seperti yang diterapkan Singapura melalui CPF.
  3. Kepastian Hukum dan Delegasi Aturan: Perpres tidak boleh menciptakan status hukum baru tanpa dasar undang-undang yang jelas agar tidak menimbulkan gugatan hukum di kemudian hari.
  4. Transparansi Algoritma dan Audit Ringan: Pemerintah perlu memastikan potongan aplikator benar-benar maksimal 20 persen dari pendapatan kotor, serta mencegah manipulasi algoritma yang merugikan mitra.
  5. Koordinasi Lintas Kementerian: MTI menegaskan perlunya sinergi antara Kemenhub, Kemenaker, Kemenkeu, BPJS, dan Kementerian Kominfo agar regulasi berjalan konsisten dan efektif.
  6. Pembatasan Fungsi Ojek Daring untuk Barang: MTI mengusulkan agar fungsi ojek daring di masa depan diarahkan untuk angkutan barang dan logistik mikro, bukan penumpang, terutama di kota besar.

MTI menekankan bahwa masa depan mobilitas perkotaan harus kembali ke prinsip dasar: membangun sistem transportasi umum yang andal, terintegrasi, dan bermartabat.

“Peradaban mobilitas tidak dibangun dari mesin kecil yang berlari sendiri, melainkan dari sistem yang membuat semua orang bergerak bersama—lebih aman, hemat, dan berkeadilan,” tutup pernyataan tersebut. (Efialdi/Red.)