KPK Tetapkan Gubernur Riau Sebagai Tersangka,Jatah Preman Rp. 7 Miliar Terbongkar

Jakarta,Cakrawala-Guncangan besar melanda Riau. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) resmi menetapkan Gubernur Riau, Abdul Wahid, sebagai tersangka kasus suap berjuluk “jatah preman”—skema kotor yang memalak uang proyek hingga Rp7 miliar di Dinas PUPR-PKPP Riau.

 

Dari laporan masyarakat, terungkap praktik menjijikkan: setoran 5 persen dari nilai proyek wajib diserahkan ke sang gubernur melalui kepala dinasnya. Di internal dinas, mereka menyebutnya dengan istilah yang sama sekali tidak bersembunyi—“japrem”, jatah preman.

 

Deputi Penindakan KPK, Asep Guntur, menegaskan, “Penangkapan ini bermula dari laporan masyarakat. Tim menemukan adanya permintaan uang oleh Gubernur Riau melalui bawahannya.”

 

Skandal ini berawal Mei 2025, saat Sekretaris Dinas PUPR Riau mengumpulkan enam kepala UPT. Agenda tersembunyi: menentukan kesanggupan menyetor uang ke Gubernur. Dari 2,5 persen naik jadi 5 persen—atas perintah langsung Abdul Wahid. Siapa menolak? Ancaman mutasi menunggu.

 

Di lingkungan Dinas PUPR, semua tahu: siapa tak setor, siap tersingkir. Begitulah korupsi dipelihara—dengan rasa takut dan keserakahan.

 

Tiga kali uang berpindah tangan. Juni. Agustus. November.

Total Rp.4,05 miliar dari janji Rp7 miliar.

Dan di serah terima terakhir, tim KPK menyergap di sebuah kafe di Pekanbaru.

 

Gubernur, kepala dinas, sekretaris dinas, lima kepala UPT, hingga tenaga ahli gubernur dibekuk dalam satu malam.

Barang bukti: uang tunai Rp800 juta, ditambah pecahan mata uang asing senilai Rp1,6 miliar.

Saat hendak ditangkap, sang gubernur sempat bersembunyi—tapi tak ada tempat aman bagi koruptor.

 

KPK bahkan menyegel rumah Abdul Wahid di Jakarta Selatan dan menemukan tambahan uang asing Rp.800 juta.

Kini, tiga tersangka resmi ditahan: Abdul Wahid (Gubernur Riau), MAS (Kadis PUPR-PKPP), dan DAN (Tenaga Ahli Gubernur).

 

Mereka dijerat Pasal 12 huruf b, e, f Undang-Undang Tipikor—pasal yang lahir untuk melawan pejabat rakus yang menukar amanah rakyat dengan amplop basah.

 

“Kasus ini bukti nyata, korupsi di Riau bukan sekadar kebiasaan, tapi penyakit yang diwariskan dari generasi ke generasi. Dan hari ini, waktunya kita hentikan,” tegas Asep.

 

KPK juga menegaskan apresiasi kepada masyarakat yang berani melapor.

 

“Peran publik sangat penting. Kolaborasi rakyat adalah napas pemberantasan korupsi,” ujar pimpinan KPK, Johanis Tanak.

 

Riau kembali tercoreng. Tapi kali ini, bukan sekadar kabar. Ini peringatan keras: siapa pun pejabat yang menjadikan jabatan sebagai mesin uang, KPK siap menjemputnya—hidup atau kariernya yang mati.(Ef)