Jakarta,Cakrawala-Kegiatan tangkap tangan yang dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di lingkungan Pemerintah Provinsi Riau bukan sekadar operasi hukum biasa. Ini adalah tamparan keras bagi tata kelola pemerintahan di Riau yang selama ini dibungkus rapi di balik jargon reformasi birokrasi.
KPK menegaskan, operasi senyap ini menjadi peringatan serius bahwa sistem pengawasan, integritas aparatur, dan transparansi pengadaan barang dan jasa di Pemprov Riau perlu dibedah total. Sistem bobrok tak lagi bisa ditambal; harus dibongkar.
Segalanya bermula dari laporan masyarakat, yang menjadi bukti nyata bahwa publik masih punya harapan pada pemberantasan korupsi. Dari laporan itu, tim KPK bergerak cepat, mengumpulkan bukti hingga menemukan pola permainan uang di lingkaran Dinas PUPR-PKPP Riau.
Pada Mei 2025, terjadi pertemuan rahasia di sebuah kafe di Pekanbaru. Pertemuan itu dihadiri Sekretaris Dinas PUPR-PKPP Ferry Yunanda bersama enam Kepala UPT wilayah. Mereka membahas “komitmen fee” sebesar 2,5 persen untuk Gubernur Riau Abdul Wahid, sebagai balas jasa atas penambahan anggaran proyek 2025 dari Rp71,6 miliar menjadi Rp177,4 miliar.
Namun, angka itu ternyata belum cukup. Permintaan naik menjadi 5 persen — setara Rp7 miliar. Di kalangan internal dinas, pungutan liar ini dikenal dengan sebutan “jatah preman.”
Tiga kali setoran dilakukan, berlangsung Juni, Agustus, dan November 2025. Dana dikumpulkan dari para Kepala UPT, disalurkan lewat Ferry Yunanda dan Kepala Dinas PUPR Arief Setiawan, hingga akhirnya mengalir ke Abdul Wahid melalui tenaga ahli gubernur, Dani M. Nursalam.
Total uang yang berhasil diserahkan mencapai Rp4,05 miliar, sebagian diantaranya ditangkap tangan langsung oleh tim KPK pada Senin (3/11/2025). Dari operasi tersebut, KPK mengamankan uang tunai Rp800 juta, serta 7 orang pejabat Dinas PUPR-PKPP.
Tim juga memburu Abdul Wahid yang sempat bersembunyi, sebelum akhirnya ditangkap di sebuah kafe di Pekanbaru. Tak hanya itu, penggeledahan di rumah pribadinya di Jakarta Selatan menemukan uang asing senilai Rp800 juta, sehingga total barang bukti mencapai Rp1,6 miliar.
Setelah pemeriksaan intensif, KPK menetapkan tiga orang sebagai tersangka:
1. Abdul Wahid, Gubernur Riau,
2. M. Arief Setiawan, Kadis PUPR-PKPP Riau,
3. Dani M. Nursalam, Tenaga Ahli Gubernur.
Ketiganya ditahan selama 20 hari pertama terhitung sejak 4 November 2025, masing-masing di Rutan ACLC dan Rutan Gedung Merah Putih KPK.
KPK menjerat mereka dengan pasal 12e, 12f, dan 12B UU Tipikor, yang menegaskan bahwa perbuatan menerima janji atau hadiah terkait jabatan adalah bentuk penyalahgunaan kekuasaan.
KPK menegaskan, keberhasilan operasi ini bukan semata hasil penegakan hukum, tetapi juga kerja sama masyarakat dan aparat daerah yang berani melapor. Publik Riau berkontribusi langsung melawan praktik “jatah preman” di birokrasi.
KPK berharap momentum ini menjadi pengingat bagi seluruh penyelenggara negara bahwa jabatan adalah amanah, bukan ladang uang. Bahwa kekuasaan tanpa integritas hanya akan berujung di balik jeruji besi.
Kini, publik menunggu:
Apakah Pemprov Riau akan berbenah serius — atau kasus ini hanya akan jadi catatan hitam lain dalam sejarah panjang korupsi di Bumi Lancang Kuning?.(Ef)













