Jembatan Timbang Dibubarkan, Bagai­mana Pengawasan Angkutan Barang Selanjutnya

Jakarta,Cakrawala-Beberapa waktu lalu, Menteri Perhubungan membuat pernyataan mengejutkan: “akan membubarkan Jembatan Timbang (JT)” dengan alasan JT menjadi sarang pungutan liar (pungli). Pertanyaannya, benarkah tuduhan tersebut? Tentu yang paling tahu adalah para petugas JT dan pengemudi truk yang saban hari masuk ke fasilitas itu.

 

Pernyataan Menhub ini mengingatkan kita pada kebijakan serupa di era Orde Baru. Tahun 1985, Laksamana Sudomo selaku Pangkopkamtib memerintahkan penutupan seluruh JT lewat PP No. 38/1985. Bahkan atribut seragam aparat LLAJ kala itu ikut “dipreteli”, hingga mereka hanya difokuskan pada urusan transportasi murni.

 

Kini, sejarah seakan berulang. Jika benar JT dibubarkan, publik patut bertanya: apakah ada bukti nyata oknum petugas ditangkap karena pungli? Apakah sudah ada sanksi tegas? Tanpa fakta yang jelas, pernyataan Menhub bisa dianggap tuduhan semata dan justru menurunkan semangat petugas di lapangan.

 

Padahal sejak kewenangan JT dikelola Balai Pengelola Transportasi Darat (BPTD) di bawah Ditjen Hubdat, tata kelolanya sudah seragam secara nasional. Fungsi JT pun seharusnya tidak hanya menindak pelanggaran Over Dimension Over Load (ODOL), tetapi juga bisa menjadi pusat data logistik: mencatat asal, tujuan, jenis, dan volume barang. Data ini penting sebagai indikator ekonomi suatu wilayah. Sayangnya, publikasi data JT hampir tidak pernah terdengar.

 

Sebagai pengganti JT, Menhub menyebut akan dipasang Weigh In Motion (WIM), alat timbang kendaraan dalam kondisi berjalan. Namun, perangkat ini baru mungkin dipasang di jalan tol, sementara sebagian besar truk angkutan barang melintas di jalan nasional non-tol. Pertanyaan krusialnya: bagaimana pengawasan di wilayah yang belum memiliki tol, sementara target pemerintah adalah Indonesia bebas Truk ODOL pada 2027?

 

Tanpa strategi menyeluruh, rencana pembubaran JT justru kontradiktif dengan target nasional. Publik wajar khawatir: jangan sampai masalah ODOL makin sulit dikendalikan, infrastruktur makin rusak, dan keselamatan di jalan makin terancam.

 

Mungkin sudah waktunya Menhub melakukan “tour darat” keliling nusantara—menyusuri jalan lintas Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, hingga Nusa Tenggara—untuk benar-benar merasakan denyut nadi logistik Indonesia. Dari pengalaman langsung itulah, kebijakan bisa lahir bukan sekadar dari laporan atas meja, tetapi dari realita jalan raya.(ef)

 

Felix Iryantomo

Peneliti Senior INSTRAN (Inisiatif Strategis Transportasi)