BOGOR, MN Cakrawala — Pagi itu, Bogor masih lembab oleh sisa hujan. Langit kelabu, tapi semangat saya cerah karena hari ini akhirnya bisa mencoba sendiri kereta cepat Whoosh Jakarta–Bandung, proyek besar yang selama ini hanya saya ikuti lewat berita dan debat publik.
Dari Bogor ke Stasiun Halim, perjalanan berlangsung padat tapi lancar. Bangunan stasiun megah dan bersih, menyerupai bandara mini. Tak ada pungutan liar, tak ada keributan. Layanan yang tertib memberi kesan modern sejak langkah pertama.
Begitu masuk gerbong, suasananya seperti masa depan. Kabin lega, desain elegan, dan layar digital mencatat kecepatan yang terus meningkat—100, 200, hingga 347 km/jam. Dalam diam, Whoosh melesat secepat bayangan. Rasanya seperti menembus waktu.
Di luar jendela, sawah, bukit, dan jalan tol hanya lewat sekejap. Tak ada guncangan berarti. Bahkan dalam terowongan pun tetap stabil. Dalam 40 menit, Bandung sudah di depan mata. Waktu terasa melipat.
Perjalanan lanjut dengan kereta feeder menuju Stasiun Bandung. Semua teratur, jadwal tepat, petugas ramah. Saya lalu berjalan ke Warung Kopi Purnama—menikmati roti srikaya dan kopi hitam, dua hal sederhana yang terasa istimewa di tengah kota yang kini terasa lebih dekat.
Bersama kawan lama, kami menyusuri Braga, Gedung Merdeka, hingga Gedung Sate. Bandung sore itu seperti membawa nostalgia di tengah kemajuan. Siapa sangka, jarak yang dulu melelahkan kini bisa ditempuh hanya dalam hitungan menit.
Perjalanan pulang sore itu membuat saya berpikir. Selama ini Whoosh banyak diperdebatkan—biaya besar, isu efisiensi, dan pro-kontra politik. Tapi di dalam gerbong yang melaju tenang di atas 300 km/jam, semua perdebatan terasa jauh. Whoosh membuktikan dirinya bukan lewat wacana, tapi lewat ketepatan waktu dan kenyamanan nyata.
Mungkin di sinilah letak nilai sejatinya. Bukan sekadar alat transportasi, tapi simbol bahwa Indonesia bisa bergerak cepat, rapi, dan tepat waktu—asal mau bekerja senyap, seperti Whoosh.
Oleh: Muhamad Akbar – Pengamat Transportasi (Efialdi/Red.)













