Jakarta,Cakrawala– Negara ini seolah lupa bahwa transportasi umum adalah hak rakyat, bukan fasilitas mewah yang hanya disediakan jika ada sisa anggaran. Pasal 138 UU No. 22 Tahun 2009 jelas memerintahkan pemerintah menyediakan angkutan yang selamat, aman, nyaman, dan terjangkau. Tapi yang terjadi justru kebalikannya: janji manis di panggung kampanye, realisasinya pahit di lapangan.
Pemerintah memang memasukkan 20 kota dalam RPJMN 2025–2029 untuk dibenahi angkutan umumnya. Namun, lihat saja anggaran buy the service (BTS) yang katanya jadi andalan:
* 2020: Rp 56 miliar
* 2021: Rp 292 miliar
* 2022: Rp 550 miliar
* 2023: Rp 625 miliar
* 2024: Rp 437 miliar
* 2025: Rp 177 miliar
2026: rencana hanya Rp 80 miliar
Ini bukan sekadar penurunan, ini sinyal terang: transportasi publik bukan prioritas. Padahal, Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming sudah berjanji memberi subsidi transportasi umum. Kalau janji itu hanya berakhir di spanduk dan baliho, lalu untuk apa rakyat percaya lagi?
Indonesia punya 514 pemerintah daerah. Anggaran BTS dari APBN seharusnya menjadi pemantik agar daerah mau mengalokasikan APBD untuk melanjutkan program setelah dua hingga tiga tahun. Tapi kalau stimulan pusatnya saja dipangkas, yang terjadi adalah pembiaran, bukan pembenahan.
Transportasi publik murah adalah penyelamat rakyat di tengah harga kebutuhan pokok yang terus naik dan peluang kerja yang makin sempit. Meminjam kata-kata Litman (2025): “Transportasi yang terjangkau memberi setiap orang kesempatan menikmati peluang, kebebasan, dan kebahagiaan. Itu kalau pemerintahnya becus dan peduli.”
Djoko Setijowarno, Akademisi Teknik Sipil & Wakil Ketua MTI Pusat, mengingatkan:
“Kalau pemerintah serius ingin rakyatnya maju, pastikan dulu rakyat bisa bergerak dengan layak.”
Pertanyaannya sekarang: apakah pemerintah mau membuktikan keberpihakannya, atau terus membiarkan rakyatnya terjebak macet, ongkos mahal, dan janji kosong.(Ef)